.

.

Senin, 28 Maret 2011

[Cerpen] Sesal

Sesal

“Duh, ujan lagi, Mith!” kata seseorang di sampingku. Aku tak menjawab, itu ‘kan bukan kalimat tanya. Ia menggandengku, aku agak risih, secara aku tak suka terlihat mengekspos diri. Apalagi bersama Rei.

“Mith? Kamu kok diem aja sih? Sakit ya?” katanya lagi sambil mengusap dahiku. Uugh! Ia merusak poniku! Apa-apaan sih, berbuat sok mesra begini di depan umum! Memuakkan!!

Tiga puluh menit berlalu dan selama itulah aku hanya diam, kecuali Rei yang terus berkicau non-stop. Tak lama, hujan pun berhenti dan aku pun bergerak pergi dari halte bus itu.

“Mith, tunggu dong!” Rei memanggilku. Aku menoleh dengan tatapan sinis, seakan berkata, ‘Apa-apaan sih lo’. Ia terus mengikutiku, namun karena kau terlalu lihai memasuki gan-gang kecil, ia kehilangan jejakku.

“Dia ‘nggak mungkin bisa ngikutin lagi….” bisiku dalam hati, dengan senyum licikku. Rei memang pacarku : ia menyatakan perasaannya, tapi selalu ku tolak sampai akhirnya ku terima dengan setengah hati. Aku masih ingat wajahnya yang gembira sekali waktu itu.

Selama setahun ini, dia selalu mengisi hariku walaupun aku selalu menghindar. Itu pun ada alasannya, karena aku mengincar seorang cowok yang ku piker dia lebih baik daripada Rei : cowok ikal dengan lelucon aneh.


* * *


“Maaf lama.” kata seseorang yang terengah-engah di depan mejaku. Hampir setengah jam, tapi penantianku terbayar dengan senyumannya. Aku terpana.

“Hello…? Kok bengong? Nanti ayam tetangga mati lho…! Haha!” Dia mengagetkaku. Ouch! Aku malu sekali!

“Oh, sorry!” kataku cepat. Mungkin wajahku sedah seperti kepiting rebus sekarang. Senyumannya membuatku semakin speechless.

“Udah mesen belum? Nanti aku yang bayarin.” katanya tiba-tiba.

“Belum, ‘kan aku nungguin kamu dulu.”

“Kamu ‘nggak jalan sama Rei?”

“Umm, enggak! Dia ‘nggak pernah ngajak jalan lagi sekarang…” kataku berbohong. Padahal cowok aneh itu slalu mengikuti ke mana aku pergi.

“Ah, masa’? kayaknya kemarin aku lihat kamu sama Rei di Resto Jepang di ujung jalan.” katanya dengan raut muka sedang berpikir.

“Salah lihat kali!” Sekali lagi aku berbohong. “Lagian aku udah putus kok!”

“Hah, putus?? Ya ampun, I’m sorry to hear that…” Ia berkata dengan kedua alis bertemu. Hmmpf! Padahal aku bakal seneng banget kalo dia langsung nembak aku setelah tau kalau aku sudah jadi ‘janda’ sekarang, kataku dalam hati.

Menit demi menit berlalu hingga akhirnya Joan mengantarkanku pulang.

“Bye! Thanks ya, Joan!” kataku.

“You’re welcome, Girl! Good night.” katanya seraya melambai dari dalam mobilnya. Tak lama, mobilnya menghilang di kejauhan. Mmmh, andaikan setiap hari seperti ini…



* * *

“Tapi kenapa, Mith?! Aku salah apa?? Kamu bilang dong, bilang!” kata Rei setengah menangis seraya mengguncang bahuku. Aku tak peduli, pokoknya aku harus putus dengannya dan meninggalkan semua lelucon garingnya. Aku yakin, pasti Joan akan menyatakan perasaannya padaku dalam waktu dekat.

“Mith, jawab, Mith!” pekik Rei. Kini tak ada leluconnya.

“’Nggak ada apa-apa! Gue Cuma benci sama lo! Gue muak sama lo!!” Rei terlihat sangat shock.

“Apa, Mith? Kamu bilang ‘gue’? kamu panggil aku ‘lo’?” Rei menatapku dalam. Aku langsung melipat tanganku di depan dadaku dan memutar bola mataku ke atas.

“Oke, kita putus.” Rei berkata lagi. Yess, akhirnya!!

Rei langsung pergi meninggalkanku. Sekitar sepuluh meter melangkah menjauhiku, aku memanggilnya.

“Rei!” Rei menoleh. Pasti dia mengira aku menyesali perkataan dan keputusanku. Dia mendekatiku. “Umm, cuma mau ngasih ini…” kataku sambil menyerahkan kalung yang baru ku lepas dari leherku. Ku raih tangan Rei dan ku letakkan kalung itu di telapak tangannya, namun ia menolak.

“Simpen aja buat kamu.” katanya datar, seraya pergi. Namun setelah ia pergi, aku langsung melempar kalung itu ke tengah jalan.

KRAKK!!
Kalung itu terlindas truk.


* * *


“Hah, kamu jadian sama cewek itu??” Aku kaget setengah mati. Mendadak aku merasa tolol.

“Iya. Dia cantik, ‘kan? Aku udah lama ngincer dia.” katanya enteng. Mataku berkaca-kaca.

“Joan…”

“Ya?” katanya sambil meminum tehnya.

“Apa kamu ‘nggak tau kalo aku suka kamu…?” Air mataku meleleh.

“Hmmpff!!” Ia tersedak.

“Kenapa?? Kamu ‘nggak ngerasa??” desakku.

“A-aku ‘nggak ngerasa, Mith. Aku nganggep kamu sahabatku, ‘nggak lebih.” Wajahnya bingung.

“Tapi kenapa kamu ngasih aku perhatian lebih??”

“I-itu biasa aja bagiku…” Wajahnya terlihat makin bingung. Polos. Penuh kejujuran.

“Kamu jahat….!!” Pekikku sambil meninggalkan café terkutuk itu.


* * *


Ku berjalan mengikuti ke mana kakiku melangkah. Pandanganku kabur karena air mataku yang terus mengalir bersama penyesalanku. Aku rindu lelucon yang mengiburku. Rei!

Aku berlari ke jalan raya tempat aku melempa kalung pemberian Rei. Ada kilauan di tengah jalan itu. Aku mendekat. Ku pungut serpihan kalung yang mencerminkan perasaan Rei. Tawanya tiba-tiba menggema di telingaku. Kini ku baru menyadari bahwa aku membutuhkannya.




* T A M A T *

Tidak ada komentar: